Senin, 30 Juni 2025

Suku-suku Hadramaut Bentuk Pasukan Lokal Bantu Perkuat Keamanan


Situasi politik dan keamanan di provinsi Hadramaut, Yaman Timur, kembali memanas setelah aliansi suku-suku besar wilayah itu atau yang dikenal dengan Himpunan Suku Hadramaut terus melanjutkan langkah mereka membentuk pasukan bersenjata sendiri. Meski telah mendapat peringatan keras dari otoritas resmi pemerintah provinsi dan Dewan Kepresidenan Yaman di Aden, konfederasi ini bersikeras membangun kekuatan militer yang mereka sebut sebagai “Pasukan Perlindungan Hadramaut.”

Ketua Himpunan Suku Hadramaut, Amr bin Habrish, yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Pertama Hadramaut, resmi mengumumkan pembentukan Brigade Pertama Pasukan Perlindungan Hadramaut. Posisi komandan diberikan kepada Brigadir Al-Juwaid Barshid, dengan Brigadir Aman Al-Hubayshi sebagai kepala staf, dan Brigadir Saleh Al-Alayi sebagai kepala operasi. Keputusan ini membuat situasi di Hadramaut kian tegang.

Aliansi suku-suku ini bukan kekuatan baru dalam sejarah Hadramaut. Mereka merupakan pewaris struktur konfederasi tradisional yang pernah ada pada era Inggris di Yaman Selatan, ketika wilayah Hadramaut terbagi dalam beberapa kesultanan otonom seperti Kesultanan Kathiri, Qu’aiti, dan Yafa. Pada masa itu, Inggris menyatukan sejumlah kesultanan melalui konfederasi longgar demi menjaga stabilitas jalur perdagangan dan akses ke Laut Arab.

Jejak sejarah itu masih terasa hingga kini. Konfederasi Suku Hadramaut modern mengklaim dirinya sebagai kelanjutan tradisi lokal yang dahulu menjadi kekuatan politik penting di bawah sistem protektorat Inggris. Karena itu, keberadaan mereka tidak hanya dipandang sebagai entitas politik suku semata, melainkan juga sebagai simbol identitas Hadramaut yang ingin kembali memiliki otonomi dalam menentukan nasib sendiri.

Di tengah ketegangan ini, relasi Himpunan Suku Hadramaut dengan Dewan Transisi Selatan (STC) yang berbasis di Aden juga menjadi sorotan. Meski secara terbuka keduanya belum menyatakan aliansi formal, sejumlah laporan menyebut ada komunikasi intensif di belakang layar antara pimpinan konfederasi suku dengan petinggi STC. Keduanya memiliki tujuan serupa, yakni mengurangi pengaruh pemerintah pusat Yaman dan memperbesar ruang otonomi bagi wilayah selatan.

STC selama ini didukung Uni Emirat Arab, dan upaya Himpunan Suku Hadramaut membentuk milisi sendiri dinilai sejalan dengan pola STC yang lebih dulu membentuk milisi seperti Pasukan Sabuk Keamanan dan Brigade Elit di wilayah selatan. Meski berbeda wilayah basis, kedua kelompok ini punya kesamaan dalam keinginan menata ulang peta kekuasaan Yaman pasca-perang saudara.

Pemerintah Aden tentu menanggapi perkembangan ini dengan kekhawatiran. Dalam pernyataan resminya, otoritas lokal menolak tegas keberadaan pasukan bersenjata di luar kerangka militer nasional. Mereka memperingatkan bahwa langkah ini dapat memicu instabilitas di Hadramaut yang selama ini relatif aman dibanding provinsi lain seperti Marib atau Taiz.

Sementara itu, Konferensi Hadramaut Jami’ yang merupakan sayap politik Himpunan Suku Hadramaut, mendesak pemerintah pusat segera memenuhi tuntutan mereka. Dalam pertemuan terbaru, konferensi ini menyebut kondisi layanan publik yang memburuk, naiknya harga kebutuhan pokok, serta ketidakamanan sebagai alasan utama perlunya otonomi dan kekuatan bersenjata lokal.

Mereka juga menuding Dewan Kepresidenan Yaman gagal mengakomodasi aspirasi rakyat Hadramaut dalam proses perundingan politik nasional. Hal ini membuat masyarakat setempat merasa termarjinalkan, padahal Hadramaut merupakan provinsi terbesar dengan sumber daya minyak dan gas yang strategis bagi perekonomian Yaman.

Langkah pembentukan pasukan sendiri ini mendapat sambutan beragam dari warga Hadramaut. Sebagian warga mendukung, karena merasa pemerintah pusat tak kunjung memberikan solusi bagi krisis ekonomi dan keamanan di daerah mereka. Namun, ada juga yang khawatir langkah ini justru akan menyeret Hadramaut ke dalam konflik bersenjata seperti di wilayah selatan lainnya.

Sejumlah analis politik menilai bahwa gerakan suku-suku Hadramaut saat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari pola fragmentasi yang dulu dibangun Inggris lewat sistem konfederasi kesultanan. Setelah runtuhnya sistem itu usai kemerdekaan Yaman Selatan tahun 1967, kekuatan lokal Hadramaut sempat terpinggirkan oleh otoritas nasional.

Kini, dengan runtuhnya stabilitas nasional akibat perang saudara, peluang kelompok-kelompok lokal seperti Himpunan Suku Hadramaut untuk kembali memegang kendali wilayah mereka terbuka lebar. Ditambah lagi, kedekatan mereka dengan beberapa petinggi STC membuka kemungkinan koordinasi di masa depan jika situasi keamanan makin memburuk.

Selain itu, pembentukan Brigade Pertama Pasukan Perlindungan Hadramaut dikhawatirkan bisa mendorong terjadinya fragmentasi kekuasaan de facto di wilayah itu. Jika situasi ini tak dikendalikan, Hadramaut berpotensi mengalami pembelahan kekuasaan seperti di Marib dan Taiz, di mana beberapa wilayah kota dikuasai pemerintah, sementara pedalaman dikendalikan kelompok bersenjata lokal.

Relasi antara konfederasi suku Hadramaut dan STC sebenarnya berbasis pada kesamaan strategi: membangun kekuatan militer lokal yang kuat untuk menekan pemerintah pusat. Jika kedua kelompok ini akhirnya bersekutu secara terbuka, peta konflik Yaman akan semakin kompleks, dan posisi pemerintah di Aden akan semakin rapuh.

Keterlibatan Emirat di Hadramaut juga disebut-sebut cukup intens. Meski belum secara terang-terangan mendukung Himpunan Suku Hadramaut, pola pendanaan dan distribusi bantuan logistik di beberapa wilayah diketahui mengalir lewat jalur yang berkaitan dengan konfederasi suku ini, mirip pola yang diterapkan Emirat di Aden dan Socotra.

Hingga kini, belum ada tanda-tanda pemerintah pusat maupun Dewan Kepresidenan Yaman mampu meredam ketegangan ini. Berbagai peringatan yang disampaikan pemerintah terhadap konfederasi suku di Hadramaut sejauh ini diabaikan, dan pembentukan pasukan bersenjata tetap berjalan.

Bila kondisi ini terus berlanjut, Hadramaut akan menjadi provinsi strategis berikutnya yang terbagi dua kekuasaan, melengkapi peta fragmentasi de facto di Yaman yang kini mencakup Taiz, Marib, dan sebagian wilayah selatan. Peta konflik nasional pun akan makin sulit disatukan tanpa konsensus politik luas.

Hadramaut, yang selama ini dikenal sebagai provinsi relatif tenang di tengah perang saudara Yaman, kini perlahan bergerak menuju konfrontasi terbuka. Sejarah lama konfederasi kesultanan yang dulu disatukan Inggris seakan berulang dalam bentuk baru di abad ke-21, kali ini dalam bayang-bayang perang saudara dan perebutan kendali ekonomi minyak.

Secara administratif, Provinsi Hadramaut di Yaman saat ini memang punya lebih dari satu Wakil Gubernur (Deputy Governor), karena wilayahnya luas dan terdiri dari zona pesisir dan pedalaman (Wadi Hadramaut).

Setidaknya ada dua posisi wakil gubernur Hadramaut yang cukup dikenal:

1. Amr bin Habrish Al-Ali — menjabat sebagai Wakil Gubernur Pertama (First Undersecretary atau First Deputy Governor). Dia juga ketua Himpunan Suku Hadramaut (Himpunan Al-Hadharam), dan tokoh paling berpengaruh di wilayah pesisir Hadramaut. Ia aktif dalam politik lokal dan memimpin langkah pembentukan pasukan “Perlindungan Hadramaut”.


2. Isam Habrish Al-Kathiri — menjabat sebagai Wakil Gubernur untuk wilayah Wadi Hadramaut dan padang pasir (Undersecretary of Hadramaut for the Valley and Desert Regions). Wilayah ini mencakup kota-kota seperti Seiyun dan Tarim di pedalaman.



Karena luasnya provinsi dan perbedaan kondisi sosial-politik antara wilayah pesisir (Al-Mukalla) dan pedalaman (Seiyun, Tarim), sistem pemerintahan Hadramaut memang membagi perwakilan gubernur dalam dua wakil utama itu, selain pejabat gubernur provinsi. Kadang posisi Wakil Gubernur Bidang Keamanan atau Pembangunan juga bisa ada, tapi dua nama di atas adalah yang paling senior dan aktif dalam konflik politik terakhir.

Hadramaut saat ini punya minimal dua wakil gubernur aktif, masing-masing untuk wilayah pesisir dan pedalaman. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

See

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *